Read Time:7 Minute, 27 Second

Oleh: Mln.
Mahmud Ahmad Syamsuri


Hadhrat
Rasulullah saw. adalah teladan yang sempurna bagi umat manusia. Tidak
terkecuali dalam hal memberikan tarbiyat. Beliau saw. adalah sang
Murabbi
(pemberi tarbiyat)
hakiki yang mendapatkan bimbingan langsung dari Allah Ta’ala
mengenai bagaimana cara untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang terbaik bagi umatnya.

Salah satu
metode yang beliau saw. gunakan dalam memberikan tarbiyat adalah dengan mengadakan sesi tanya-jawab bersama para sahabatnya. Bertanya menjadi suatu proses yang
mengantarkan para sahabat ra. untuk mendapatkan pencerahan pemikiran, membuka pintu-pintu
khazanah keilmuan yang akhirnya bermuara pada perbaikan dalam hal amalan. Dan Rasulullah saw.
senantiasa memberikan jawaban yang penuh hikmah dan sesuai dengan kondisi diri dari si
penanya. Tak mengherankan jika terkadang ada satu pertanyaan yang sama dari para sahabat ra. yang beliau saw.
jawab dengan jawaban yang berbeda-beda tergantung dari kondisi si penanya.

Berikut ini
adalah beberapa riwayat yang menggambarkan cara tarbiyat beliau saw. yang
istimewa tersebut. Dalam tulisan ini penulis mengutip beberapa hadits yang
berisi jawaban yang berbeda-beda dari Rasulullah saw. untuk menjawab satu pertanyaan
yang sama, yakni apa sajakah amalan-amalan yang paling utama?

Hadits
pertama

Dari Ibnu
Mas’ud ra. mengatakan: “Aku bertanya kepada Nabi saw. mengenai amalan apakah yang
paling dicintai oleh Allah Ta’ala? Nabi saw. menjawab,
“Laksanakanlah shalat
pada waktunya”
. lalu aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?”. Nabi saw. menjawab,
“Berbuat baik kepada kedua orang tua”. Aku bertanya lagi, “Kemudian apa
lagi ya Rasulullah saw.? Nabi saw. menjawab,
“Berjuang dijalan Allah.” (HR.
Bukhari – Muslim)

“Laksanakanlah
shalat pada waktunya”,
ini poin pertama yang beliau saw. sampaikan. Melaksanakan
shalat tepat waktu merupakan tingkatan shalat yang kedua setelah seseorang mampu melaksanakan
shalat secara dawam. Yang mana hal ini selaras dengan firman Allah Ta’ala dalam
Al-Qur’an:

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا

“Sesungguhnya
sholat bagi orang-orang mukmin telah di tentukan waktu-waktunya.” (An-Nisa : 103)

Rangkaian
kedua jawaban atas pertanyaan Ibnu Mas’ud ra. adalah,
“Berbuat baik pada orang
tua.”
Hal ini memberikan penekanan bahwa dalam syariat Islam selain pemenuhan
terhadap hak-hak Allah Ta’ala, seorang hamba juga dituntut untuk memenuhi hak-hak
hamba atau makhluk Allah Ta’ala.

Jika
pemenuhan hak Allah Ta’ala terwakili dengan perintah melaksanakan shalat tepat
pada waktunya, maka mengenai pemenuhan hak-hak hamba, beliau saw. memberikan
jawaban dengan perintah berbuat baik kepada orang tua. Yang pertama adalah
pengabdian seorang hamba kepada
Khaliq-nya, sedangkan yang kedua adalah
pengabdian seorang hamba kepada makhluk Allah Ta’ala, dalam hal ini yang
terdekat tentunya adalah kepada kedua orang tuanya.

Pengabdian
seorang anak terhadap kedua orang tua ini juga akan mengantarkan manusia pada
keridhaan Allah Ta’ala. sebagaimana Rasulullah saw. bersabda: 

“Ridha
Allah terletak pada ridha kedua orang tua dan kemurkaan Allah ada pada
kemurkaan orang tua.” (HR. At-Tirmidzi dan disahihkan Ibnu Hiban dan Hakim)

Rangkaian
ketiga jawaban beliau saw. adalah, “Berjuang atau berjihad di jalan Allah Ta’ala”. Penempatan poin ini setelah perintah berbakti kepada
kedua orang tua bukanlah tanpa hikmah. Karena terdapat sebuah riwayat lainnya yang menggambarkan perbandingan hirarki tingkat kepentingan dari kedua amalan tersebut. Terdapat sebuah riwayat sebagai
berikut:

Diriwayatkan
dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash ra., dia berkata (bahwa) ada seorang laki-laki
mendatangi Nabi saw. kemudian meminta izin (kepada beliau saw.) untuk berjihad.
Beliau saw. pun bertanya,
“Apakah kedua orang tuamu masih hidup?”
Laki-laki itu menjawab, “Ya.” Nabi saw. bersabda,
“Maka, kepada
keduanya itulah kamu berjihad.”
(HR Bukhari & Muslim).
Hadits
kedua
“Dari Abu Hurairah ra.
mengatakan, Nabi saw. ditanya orang, “Amalan apakah yang paling utama?” Nabi
saw. bersabda, “Beriman kepada Allah dan rasul-Nya”. “Kemudian apalagi?”,
Nabi saw. menjawab, “Berjuang di jalan Allah”. Ditanya lagi, “Kemudian
apalagi wahai Rasulullah saw.?” Nabi saw. menjawab, “Berhaji yang mabrur.”
(HR. Bukhari – Muslim)
Amalan utama
menurut hadits  di atas memposisikan “
Beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya
” pada urutan yang pertama. Rasulullah saw. menitik-beratkan
kepada sang penanya bahwa ketauhidan, keimanan kepada Allah Ta’ala dan
Rasul-Nya adalah pondasi awal yang menjadi pijakan untuk amalan-amalan saleh.
Kemudian
beliau saw. menyampaikan “
Berjuang dijalan Allah” sebagai amalan yang
paling utama selanjutnya. Setelah keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya terpatri
di dalam qalbu, maka kita dituntut untuk mendedikasikan dan mengabdikan hidup
kita untuk apa yang kita yakini dan imani tersebut sebagai bukti keimanan kita.
Allah Ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَنصُرُوا۟
ٱللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

Hai, orang-orang yang beriman, jika
kamu menolong (agama) Allah, Dia akan menolong kamu dan akan meneguhkan
langkah-langkahmu. (Muhammad: 8)

Rangkaian jawaban
yang ketiga adalah “
Berhaji yang Mabrur”, yakni pelaksanaan ibadah haji yang
dikerjakan oleh seorang Muslim dengan sempurna, yang sepulangnya dari berhaji
ia menjadi lebih banyak memberikan perhatian pada amalan-amalan saleh demi meraih kebaikan dan
kebahagiaan dirinya di dunia maupun di akhirat nanti.
 

Dalam
hadits lain Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa yang melaksanakan ibadah
haji karena Allah dengan tidak melakukan rafats dan tidak berbuat fusuq, maka
ia kembali seperti bayi yang baru dilahirkan dari kandungan ibunya.”
(H.R.
Bukhari dan Muslim).

Hadits
ketiga

Dari
Abu Hurairah ra., bahwa seorang Arab desa (Badui) telah mendatangi Rasulullah
saw., lalu berkata: “Ya Rasulullah! Tunjukanlah aku akan amalan (perbuatan atau
ibadah) yang jika aku mengerjakannya (dengan baik) dapat memasukan aku ke dalam
surga.”
Nabi saw. menjawab, “Hendaklah engkau menyembah Allah dan tidak
menyekutukannya akan sesuatu, engkau hendaklah Bershalat, menunaikan Zakat yang
diwajibkan serta berpuasa Ramadhan.”
Orang itu lalu mengatakan, “Demi
diriku yang ditangan (Kekuasaan) Allah, sungguh aku tidak akan menambah selain
ini saja.” Dan ketika orang itu telah pergi maka Nabi saw. bersabda, “Barang
siapa yang berkeinginan untuk melihat laki-laki dari penduduk surga, maka
lihatlah orang itu
.” (H.R. Bukhari – Muslim)

Dalam
hadist ini Rasululllah saw. menempatkan penyembahan kepada wujud Allah Ta’ala
tanpa mempersekutukan dengan yang lain sebagai pondasi utama dari keimanan.
Hadhrat Masih Mau’ud as. bersabda mengenai tauhid:
“Tauhid Ilahi merupakan Nur yang
menerangi hati manusia setelah ia berhasil memupus sepenuhnya sesembahan atau
pujaan internal atau eksternal dirinya, di mana Nur ini akan meresap keseluruh
partikel wujud dirinya. Kesadaran akan Tauhid Ilahi ini tidak bisa begitu saja
diperoleh sendiri oleh seorang manusia, karena ini hanya didapat melalui
perkenan Tuhan dan bimbingan Rasul-Nya. Untuk itu manusia harus memfanakan
egonya dan menanggalkan kesombongan syaitan yang menyatakan bahwa ia adalah
seorang yang terpelajar. Ia harus menganggap dirinya sepenuhnya bodoh dan
menyibukan dirinya dengan bersujud. Barulah nanti Nur Tauhid akan turun dari
Tuhan kepada dirinya dan Nur ini akan mengaruniakan suatu kehidupan baru
baginya.” (Haqiqatul wahyi, Qadian Magazine Pres, 1907; Ruhani Khazain, vol.
22, hal. 148, London, 1984
).

Setelah tauhid
ilahi beliau saw. menyampaikan pentingnya ibadah shalat sebagai tiang dari
bangunan kerohanian seseorang setelah ketauhidan menjadi pondasinya. Allah Ta’ala
berfirman:

 ٱتْلُ مَآ أُوحِىَ إِلَيْكَ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ ۖ
إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ
أَكْبَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Bacakanlah apa yang telah diwahyukan
kepada engkau dari Kitab Al-Qur’an dan  dirikanlah
sholat. Sesungguhnya sholat mencegah dari kekejian dan kemungkaran. Dan
sesungguhnya mengingat Allah adalah pekerjaan yang lebih besar. Dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Ankabut : 46)

Setelah perintah
shalat yang merupakan pengabdian terhadap Allah Ta’ala, beliau saw.
menyampaikan zakat sebagai pengabdian terhadap hamba-Nya. Di dalam Al-Qur’an
sendiri Allah Ta’ala selalu mengiringi perintah shalat dengan perintah zakat,
yang berarti bahwa pemenuhan HuquuquLlah dan Huquuqul ‘ibaad
adalah dua hal yang selalu berjalan beriringan.
Ketika
seseorang telah berhasil memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak hamba dengan
sebaik-sebaiknya, maka inilah kondisi yang dinamakan sebagai takwa. Oleh karena
itu rangkaian jawaban selanjutnya yang diberikan oleh Rasulullah (saw) adalah
amalan puasa yang tujuan utamanya adalah untuk meraih ketakwaan. Sebagaimana firman-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ
ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, puasa diwajibkan atasmu sebagimana
telah diwajibkan atas orang-orang sebelummu, supaya kamu bertakwa.
(Q.S.
Al-Baqoroh : 184)

Dari
hadist di atas kita melihat bagaimana Rasulullah saw. memberikan jawaban dengan lebih rinci dan bersifat
penjelasan mendasar mengenai Islam kepada sang penanya.
 Inilah cara Rasulullah saw. memberikan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Beliau saw. selalu memberikan jawaban
dengan penuh hikmah, yakni memperhatikan kondisi dan tingkat pemahaman dari sang
penanya. Wallahu a’lam bish-shawab.
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous post KHALIFAH ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ r.a.: Sejak Wafatnya Nabi s.a.w. Hingga Terpilihnya Hadhrat Abu Bakar r.a. sebagai Khalifah
Next post ZHAN VS HAQ: Perspektif Alquran, Hadis dan Hadhrat Masih Mau’ud as