Seseorang dari Yordania bertanya kepada Hazrat Mirza Masroor Ahmad, apakah wanita yang sedang haid wajib membayar fidyah karena tidak berpuasa. Jika ada puasa yang terlewat karena alasan tertentu, apakah wajib mengqadha nya dalam kondisi apapun. Atau apakah puasa ini batal untuk waktu tertentu? Misalnya jika seorang sakit dan tidak bisa berpusa selama dua tahun, apakah wajib baginya berpuasa di lain hari setelah sembuh? Bagaimana wanita hamil atau menyusui yang tidak dapat berpuasa selama dua tahun atau lebih selama Ramadhan mengqadha puasa tersebut?
Huzur Anwar dalam suratnya tanggal 16 Mei 2022 memberikan petunjuk mengenai hal tersebut:
Haid merupakan kondisi fisiologis yang alami bagi wanita. Al-Qur’an telah menganggap kondisi tersebut sebagai kondisi yang tidak nyaman bagi mereka. (Surah al-Baqarah: 223)
Dalam kondisi haid, Allah telah memberikan wanita keringanan dari segala bentuk ibadah. Memanfaatkan keringanan dari Allah sesungguhnya merupakan ketaatan yang hakiki dan mendatangkan pahala. Jadi, bagi wanita yang haid, cukup dengan mengqadha puasa yang tidak tertinggl; tidak ada kewajiban membayar fidyah. Tetapi jika seorang wanita memiliki kemampuan untuk membayar fidyah dan ingin membayarnya dengan sukarela sebagai tambahan amal, maka tidak ada larangan membayarnya. Salah satu alasan membayar fidyah adalah supaya memperoleh kemampuan dan kesempatan untuk berpuasa; seperti yang dijelaskan oleh Hazrat Masih Mau’ud (as),
“Suatu ketika [pertanyaan ini] terlintas dalam benak saya, mengapa harus membayar fidyah. Kemudian saya memahami bahwa hal itu diperintahkan untuk [memohon kepada Allah] supaya mendapatkan taufik bagi seseorang untuk berpuasa.’ (Al Hakam, No. 44, Vol. 6, 10 Desember 1902, hal. 9)
Adapun puasa yang tertinggal karena alasan yang dibenarkan, maka harus mengqadhanya di kemudian hari, karena ini perintah dari Allah:
“Maka barangsiapa di antaramu hadir pada bulan ini hendaklah ia berpuasa di dalamnya, tetapi barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka berpuasalah sebanyak bilangan itu pada hari-hari lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan Dia tidak menghendaki kesukaran bagimu, Dia menghendaki supaya kamu menyempurnakan bilangan itu dan supaya kamu mengagungkan Allah, karena Dia telah memberi petunjuk kepadamu dan supaya kamu bersyukur.” (QS Al-Baqarah [2]186)
Jadi, wajib mengqadha puasa Ramadhan setelah halangan-halangannya hilang. Tetapi jika ada seseorang menjadi sangat menderita hingga tidak dapat mengqadha puasa di kemudian hari, maka Allah Ta’ala telah memberi petunjuk kepadanya mengenai pembayaran fidyah sesuai kemampuannya, sebagaimana difirmankan:
“Dan barangsiapa berpuasa tetapi dengan susah payah [tidak sanggup berpuasa] hendaklah ia membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. (QS Al-Baqarah [2]:185)
Mengenai mengganti puasa yang terlewat setelah alasan-alasan yang diberkan untuknya telah lewat dan tentang pembayaran fidyah, Hazrat Masih Mau’ud bersabda:
“Fidyah hanya boleh dilakukan dalam kasus orang tua yang lemah atau yang serupa dengan itu, yaitu yang tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menyelesaikan puasa. Sebaliknya, bagi orang-orang pada umumnya yang sudah sehat kembali dan mampu berpuasa kembali, tetapi menganggap bahwa cukup hanya dengan membayar fidyah, sama saja dengan menyebabkan kelalaian dalam ketaatan beragama. Dalam pandangan kami, keimanan tanpa perjuangan [mujahadah] tidak ada artinya. Membebaskan diri dari tanggung jawab yang diberikan Allah kepada kita dengan cara ini adalah dosa besar. Allah Ta’ala berfirman bahwa Dia akan memberi petunjuk hanya kepada orang-orang yang berjuang di jalan-Nya. [QS al-‘Ankabut [29]: 70].’ (Badr, No. 43, Vol. 6, 24 Oktober 1907, hal. 3)
Jadi pada hakikatnya, jika puasa yang ditinggalkan karena alasan-alasan yang sah, maka puasa tersebut harus diqadha setelah halangan-halangannya sudah hilang, dan jika ia memiliki kemampuan, boleh juga membayar fidyah karena ia tidak bisa berpuasa pada bulan Ramadhan.
Jika seseorang tidak memiliki kemampuan secara berkepanjangan untuk mengqadha puasa tersebut, maka menurut ayat لَا يُکَلِّفُ اللّٰہُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَہَا ‘Allah tidak membebani suatu jiwa melebihi kesanggupannya.’ (QS Al-Baqarah [2]: 287), orang seperti itu akan dimaafkan oleh Allah. Jika mereka memiliki kemampuan untuk membayar fidyah sebagai pengganti puasa tersebut, maka mereka harus membayarnya, dan bahkan jika mereka tidak mampu membayar fidyah, maka mereka dalam hal ini tetap dimaafkan di sisi Allah. Aturan yang sama juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui.
Jika seseorang meninggalkan puasa lebih dari satu bulan Ramadhan karena alasan yang sah dan kemudian Allah mengaruniai mereka kemampuan untuk berpuasa setelah halangan mereka hilang, maka mereka harus mengqadha puasa yang terlewat secara bertahap, dengan kemampuan terbaik mereka. Tetapi terdapat perbedaan penafsiran mengenai pelaksanaan puasa yang terlewat selama lebih dari satu tahun Ramadhan. Beberapa ahli fikih berpendapat bahwa puasa yang terlewat pada tahun-tahun sebelumnya tidak dapat dilakukan pada tahun-tahun berikutnya. Namun Hazrat Muslih Mau’ud (ra) telah memberikan panduan berbeda mengenai hal ini. Beliau menjelaskan:
“Saya ingin memberi nasihat kepada para anggota Jamaah bahwa bagi mereka yang tidak dapat menjalankan seluruh puasa Ramadhan, mereka harus mengqadha dan menyempurnakannya di hari lain, terlepas apakah puasa tersebut terlewat karena kealpaan, sakit atau dalam perjalanan. Demikian juga, jika mereka melewatkan puasa apapun di tahun-tahun sebelumnya, karena kealpaan atau alasan-alasan yang dibenarkan agama, mereka juga harus berusaha menyempurnakan puasanya sebelum menghadap Allah, sehingga mereka dapat diampuni. Sebagian ahli fikih berpendapat bahwa puasa yang terlewat pada tahun sebelumnya tidak dapat dilaksanakan pada tahun berikutnya. Namun saya memiliki pandangan berbeda mengenai hal ini. Jika seseorang tidak bisa berpuasa karena ketidaktahuannya, maka ketidaktahuannya itu dimaafkan. Namun jika mereka dengan sengaja untuk tidak berpuasa, maka sama seperti sengaja meninggalkan shalat, maka tidak ada pilihan atau ketentuan untuk mengqadhanya. Sebaliknya, jika mereka melewatkan puasa karena lupa atau karena kesalahan dalam memahami hukum, saya yakin mereka dapat memperbaikinya dan lebih baik bagi mereka untuk melakukannya. Ya, jika mereka dalam kondisi bisa puasa, tetapi sengaja memilih untuk tidak berpuasa, maka tidak ada qadha. Ketika mereka bertobat, maka amal dimulai dari awal lagi. Namun jika mereka tidak berpuasa karena lupa, atau karena kesalahan pemahaman, atau karena sakit, saya yakin berapapun lamanya puasa itu, tetap bisa diqadha. (Al-Fazl, No. 55, Vol. 50-51, 8 Maret 1961, hal. 2-3)
Sumber: Al-Hakam
More Stories
Selamatnya Nabi Harun dari Upaya Pembantaian Fir’aun
Bagaimana Nabi Harun (as) selamat dari perintah Fir'aun untuk membantai anak-anak Bani Israil oleh Firaun? [Jawaban berdasarkan kajian Kitab Perjanjian...
Seperti Apa Shalawat Allah untuk Rasulullah saw?
Di dalam surah Al-Ahzab ayat 57 (dihitung dengan bismillah), Allah memerintahkan orang-orang mukmin untuk bershalawat kepada Rasulullah saw. Tetapi dalam...
Bolehkah Membaca Al-Qur’an Selama Haid (Menstruasi)
Seseorang menyampaikan penelitian kepada Hazrat Khalifatul Masih V, berupa kutipan dari berbagai ahli fikih dan para ulama, yang terkait dengan...
Kesahihan Hadits Cinta Tanah Air Bagian dari Iman
Cinta tanah air bagian dari iman adalah sebuah hadits yang cukup familiar kalangan umat Islam. Tetapi ada yang berpendapat bahwa...
Memahami Pertanyaan Malaikat di alam Kubur Saat Orang Meninggal?
Di dalam hadits terdapat riwayat yang berisi pertanyaan malaikat di alam kubur ketika orang meninggal. Seperti apa hakikatnya? Seseorang dari...
Mengapa Non-Muslim Lebih Sukses daripada Umat Islam?
Sebuah pertanyaan: Mengapa negara-negara non Muslim, yang nampak tidak beriman kepada Tuhan, bisa lebih sukses secara duniawinya? Bagi orang-orang yang...
Average Rating