Yang dimaksud dengan kata syari’at di sini ialah bermakna khusus yaitu fiqih Islam. Sebenarnya, lafazh syari’at di berbagai tempat, diartikan dengan agama yang disyari’atkan Allah untuk para hamba yang melengkapi hukum i’tiqadiyah, khuluqiyah dan amaliyah, yang berpautan dengan perbuatan, perkataan, perikatan, tasharrufnya dan lain-lain.
Para fuqaha’ (jumhur muta’akhirin) menta’rifkan bahwa fiqih adalah Ilmu yang menerangkan hukum-hukum Syara’ yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang tafshil.
Dalil tafshili ialah dalil-dalil yang khusus. Pengertian yang diperoleh dari dalil-dalil tafshili ialah hukum-hukum yang khusus yang diambil daripadanya dengan jalan nadhar ijtihad.
Jadi “Fiqih Ahmadiyah” sama dengan “Fiqih Islam” dengan ciri khas yaitu sesuai penjelasan Pendiri Jemaat Ahmadiyah (Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. sebagai Imam Mahdi dan Masih Mau’ud) dan para Khalifahnya.
Hadhrat Ahmad a.s. juga menjelaskan: “Oleh karena itu, berhati-hatilah dan janganlah melangkahkan kaki walaupun selangkah tetapi bertentangan dengan ajaran Tuhan dan petunjuk Al-Quran. Aku berkata dengan sesungguh-sungguhnya bahwa barangsiapa mengabaikan suatu perintah sekecil-kecilnya di antara sejumlah 700 buah perintah Al-Quran, ia menutup pintu keselamatan bagi dirinya sendiri dengan tangannya sendiri. Jalan keselamatan yang sempurna dan hakiki dibuka oleh Al-Quran, sedang semua jalan lainnya adalah bayangannya.”
Sunnah menurut lughat (bahasa): jalan yang dijalani, baik terpuji ataupun tidak.
Sunnah menurut istilah muhadditsin (para ahi hadits) ialah segala yang dinukilkan dari Nabi s.a.w., baik berupa perkataan, perbuatan maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, perilaku, perjalanan hidup, baik yang sebelum maupun ketika Nabi s.a.w. diutus menjadi Rasul.
Tetapi, Sunnah menurut pendapat (istilah) ahli ushul fiqh ialah segala yang dinukilkan dari Nabi s.a.w., baik perkataan maupun perbuatan ataupun taqrir yang mempunyai hubungan dengan hukum.
“Umpamanya, di dalam Al-Quran sepintas lalu tidak diketahui bilangan raka’at bagi Shalat yang 5 waktu: berapa raka’at Shalat subuh dan berapa raka’at bagi Shalat-shalat lainnya. Akan tetapi, Sunnah telah membuat segala sesuatunya menjadi jelas.”
“Pendek kata, Rasulullah s.a.w. telah memperagakan dalam bentuk tingkah-laku apa-apa yang difirmankan Allah Ta’ala, sementara beliau (s.a.w.) dengan Sunnah yakni amal perbuatan, memecahkan persoalan demi persoalan yang sulit lagi pelik.”
“Sarana petunjuk ketiga ialah Hadits yakni sabda-sabda Nabi s.a.w. yang dikumpulkan sesudah beliau tiada. Derajat Hadits adalah lebih rendah dari Quran dan Sunnah, sebab kebanyakan Hadits adalah meragukan. Akan tetapi jika disertai Sunnah maka Hadits itu akan menjadi sesuatu yang yakin.”
Hadhrat Ahmad a.s. (2018: 109) juga menjelaskan bahwa:
“Ya, sarana petunjuk ketiga ialah Hadits, sebab banyak sekali soal-soal yang berhubungan dengan sejarah Islam, budi pekerti dan fiqqah (jurisprudensi) dengan jeIas dibentangkan di dalamnya.”
“Faedah besar daripada Hadits selain itu ialah Hadits merupakan khadim AI-Quran dan Sunnah.”
“Akan tetapi kita mengambil ketetapan bahwa Hadits merupakan khadim Al-Quran dan khadim Sunnah.”
“Jelas kiranya bahwa kemuliaan seorang majikan akan bertambah besar dengan kehadiran khadim-khadim.”
“Al-Quran dan Sunnah telah melaksanakan semua tugas yang hakiki, sedang Hadits hanyalah merupakan saksi penguat. Betapakah Hadits dapat menduduki tempat sebagai Hakim terhadap Al-Quran.”
“Hendaknya jangan mengatakan bahwa Hadits menghakimi Al-Quran. Bahkan, hendaklah mengatakan bahwa Hadits merupakan saksi penguat bagi Al-Quran dan Sunnah.”
“Pendek kata, tidak menghargai Hadits adalah seakan-akan memenggal sebagian anggota tubuh Islam.”
“Walhasil, hormatilah Hadits-hadits dan ambillah faedah daripadanya, sebab sumbernya adalah Rasulullah s.a.w..”
“Dan, selama Al-Quran dan Sunnah tidak mendustakannya, kamu pun jangan mendustakannya. Bahkan hendaklah kamu sekalian menaati Hadits-hadits Nabi s.a.w. demikian rupa sehingga janganlah hendaknya melakukan gerak-gerik atau diam, dan janganlah berbuat sesuatu serta berhenti dari suatu perbuatan, tetapi untuk berbuat demikian itu kamu memiliki sebuah Hadits yang membenarkannya.”
“Dan apabila ada sebuah Hadits yang dha’if (Iemah), padahal ia mempunyai persesuaian dengan Al-Quran maka terimalah Hadits itu, karena Al-Quran membenarkannya.”
“Janganlah hendaknya keliru seolah-olah Sunnah dan Hadits sama saja. Sebab Hadits dikumpulkan sesudah 100 atau 150 tahun kemudian. Sedangkan Sunnah justru terwujud bersama-sama Al-Quran.”
“Tidaklah pada tempatnya untuk mengatakan bahwa (tugas) memecahkan persoalan ini diandalkan pada Hadits, sebab sebelum Hadits terwujud pun Islam telah berdiri di atas permukaan bumi ini. Tidakkah sebelum Hadits-hadits dihimpun, orang-orang pun mendirikan Shalat, menunaikan zakat, naik haji, atau mengenal batas antara halal dan haram?”
Hadhrat Ahmad a.s. (2018: 109) juga menjelaskan bahwa:
“Sunnah adalah contoh perilaku yang sejak awal mula berjalan dan diamalkan orang-orang Muslim yang saleh terus-menerus serta dihayati oleh ribuan orang Islam.”
Kitab-kitab Hadits banyak jumlahnya, tetapi khusus 6 Kitab di antaranya di anggap lebih shahih dan sah. Kitab-kitab Hadits tersebut dinamakan “Shihah Sittah” artinya “6 Kitab Hadits yang Shahih”.
Shahih Bukhari disusun oleh Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari (194-256 H).
Hadits adalah segala yang diceritakan (diberitakan) dari Rasululah s.a.w.. Sunnah, baik dia diceritakan ataupun tidak, adalah sesuatu yang telah biasa dikerjakan oleh Muslimin sejak dahulu.
Prof. Hasbi (1980: 37) juga menceritakan bahwa Abdur Rahman ibnu Mahdi (1198 H) berkata ketika orang bertanya kepadanya tentang Sufyan Ats-Tsauri dan Malik:
Sufyan adalah seorang Imam dalam bidang Hadits, bukan Imam dalam bidang Sunnah; sedangkan Malik adalah Imam dalam kedua bidang tersebut.
Dan, diriwayatkan tentang diri Abu Yusuf yaitu Abu Yusuf dijuluki dengan Shahib Hadits dan Shahib
Sunnah (Baca: Thabaqatul Khuffazh).
Di dalam Kitab-kitab Hadits pun sering kita temukan perbedaan di antara keduanya. Abu Dawud menyatakan dikala dia menyandarkan suatu Hadits kepada Anas berkata: ”Apabila Hadits itu telah disandarkan kepada Rasul maka tentulah demikian. Akan tetapi menurut Sunnah, begini.”
Prof. Hasbi (1980: 39) juga mengutip pendapat Dr. Taufiq Sidqy dalam kitabnya “Diinulaahi fii Kutubi Anbiyaa-ihi” berkata:
Sunnah menurut lughah dan menurut istilah para Salaf ialah khiththah, thariqah yang diikuti bersama. Maka Sunnah Rasul ialah thariqah yang dilalui Rasul dalam melaksanakan amal perbuatannya dan diikuti oleh para sahabat seluruhnya.
Hadits ialah perkataan yang diriwayatkan oleh 1 orang atau 2 orang lalu mereka saja yang mengetahuinya, tidak menjadi pegangan atau amalan umum.
Prof. Hasbi (1980: 39-40) menegaskan bahwa: Hadits ialah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi, walaupun hanya sekali saja terjadinya dalam sepanjang hidup Nabi, dan walaupun hanya diriwayatkan oleh seorang saja.
Adapun Sunnah adalah nama amalan yang mutawatir yakni cara Rasul melaksanakan sesuatu ibadah yang dinukilkan kepada kita dengan amaliah yang mutawatir pula. Nabi melaksanakannya bersama para sahabat, kemudian para sahabat melaksanakannya. Kemudian diteruskan oleh para Tabi’in, walaupun lafazh penukilannya tidak mutawatir, namun cara pelaksanaannya mutawatir adanya.
Mungkin terjadi perbedaan lafazh dalam meriwayatkan sesuatu kejadian. Maka, dalam segi sanad, dia tidak mutawatir, tetapi dari segi amaliah dia mutawatir adanya. Pelaksanaan yang mutawatir itulah yang dikatakan Sunnah. Inilah yang dikehendaki dengan As-Sunnah dalam Hadits Nabi berikut:
“Saya telah tinggalkan kepada kamu dua urusan yang kamu sekali-kali kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang kepadanya yaitu Kitaaballaahi wa Sunnata Rasuulihi (Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya)” [HR Malik].
“Ya, andaikan terdapat sebuah Hadits yang bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah, dan selain itu bertentangan dengan sebuah Hadits lainnya yang bersesuaian dengan Al-Quran; atau, umpamanya terdapat sebuah Hadits yang berlawanan dengan Shahih Bukhari maka Hadits semacam itu tidaklah layak dilerima. Sebab, dengan menerimanya kita terpaksa harus menolak Al-Quran dan semua Hadits yang bersesuaian dengan Al-Quran.”
Hadhrat Ahmad a.s. juga mengingatkan untuk menolak Hadits yang bertentangan dengan Al-Quran (2018: 111):
Namun seandainya ada sebuah Hadits yang jelas berlawanan dengan keterangan yang dinyatakan Al-Quran Suci maka kamu sekalian hendaknya berikhtiar untuk memperbandingkannya, sebab jangan-jangan pertentangan tadi hanyalah kekeliruanmu; dan andaikata pertentangan itu tidak juga dapat dipecahkan maka Hadits semacam itu buanglah, karena Hadits itu bukan dari Rasulullah saw.
More Stories
Berapa Rakaat Shalat Qobliyah dan Ba’diyah Zuhur?
Seorang muballigh dari Kanada menulis kepada Hadhrat Amirul Mukminin, Khalifatul Masih V (atba), menyatakan, "Hadhrat Muslih Mau'ud (ra) telah menyebutkan...
Jika Semua Sudah Ditakdirkan Allah, Apakah Manusia Tidak Memiliki Pilihan?
Jika Allah Mengetahui Masa Depan Kita, Apakah itu Sudah Ditakdirkan, ataukah Manusia Memiliki Kehendak Bebas?Seseorang dari Qadian, India, menulis surat...
Tata Cara Shalat Witir yang Benar
Seorang perempuan dari Inggris menulis kepada Hazrat Amirul Mukminin, Khalifatul Masih V (aba) dan bertanya mengapa kita melaksanakan shalat witir...
TAKDIR SERING MENJADI UJIAN BAGI MANUSIA
Oleh: Mln. Anom Tulus Manembah (Muballigh Sintang)Namun siapa yang tahu tentang takdir Sang Ghaib?Hidup tak pernah sesuai dengan keinginan-keinginan.(Mirza Ghulam...
Mencari Kenikmatan dari Pengakuan
Oleh: Mln. Teguh Nasir AhmadSalah satu cara orang mencari nikmat adalah melalui pengakuan. Sebenarnya pengakuan itu bisa positif dan memang...
ISLAM KAFFAH
Oleh: Mln. Jajang Khalid Ahmad (Mubaligh Barru-Sulsel 1)Berkenaan dengan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., sudah sekian banyak orang...
Average Rating