Read Time:6 Minute, 42 Second
takdir tuhan, pilihan manusia bertindak

Jika Allah Mengetahui Masa Depan Kita, Apakah itu Sudah Ditakdirkan, ataukah Manusia Memiliki Kehendak Bebas?

Seseorang dari Qadian, India, menulis surat kepada Hazrat Mirza Masroor Ahmad, mengenai takdir dan nasib, “Jika Allah Ta’ala telah mengetahui apa yang akan kita lakukan di masa depan, dan apa yang ingin kita capai, apakah kita masuk surga atau neraka, dan karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu sebelumnya, apakah artinya segala sesuatu telah ditentukan sebelumnya, dan tidak memberikan kebebasan kepada manusia? Jika kami ditanya tentang hal ini, bagaimana tanggapan kami?”

Huzur Anwar (aba) dalam suratnya tanggal 28 Juni 2022, menjawab pertanyaan tersebut sebagai berikut:

Sepanjang sejarah, pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus muncul karena kurangnya pemahaman mengenai takdir Tuhan [qadar]. Terdapat perbedaan antara mengetahui sesuatu dengan memaksa melakukan sesuatu. Karena kurangnya pemahaman, orang-orang menyamakan kedua konsep ini, mereka percaya bahwa karena segala sesuatu berada dalam pengetahuan Allah – mulai dari tindakan kita di masa depan hingga nasib akhir kita, baik surga ataupun neraka – maka semuanya atas kehendak-Nya. Mereka menganggap manusia tidak memiliki pilihan dalam hal ini. Namun gagasan ini memiliki kelemahan. 

Perhatikan anologi ini: Seorang guru memberi perintah kepada semua muridnya, dengan harapan supaya mereka mendapat nilai yang bagus. Tetapi berdasarkan pengalaman, guru itu tahu mana siswa rajin yang besar kemungkinan akan berhasil jika mereka terus berusaha dan mana siswa lalai yang pasti gagal jika mereka tidak berupaya dengan cukup. Pandangan ke depan ini berasal dari pengalaman dan pengetahuan sang guru, bukan dari hasil memaksa orang sukses untuk bekerja keras atau menghalangi yang gagal untuk mengerahkan usaha. Baik dan buruknya hasil yang diperoleh, semata-mata didasarkan pada pilihan masing-masing murid, yang kemudian dievaluasi oleh guru. 

Demikian pula, karena ilmu Allah mencakup seluruh alam dan Dia mengetahui masa lalu dan masa depan, Dia telah menetapkan hukum-hukum tertentu yang mengatur alam semesta ini. Dia menganugerahkan manusia kehendak bebas; yaitu melakukan perbuatan baik jika mereka menghendakinya atau melakukan perbuatan buruk jika mereka menghendakinya. Berdasarkan tindakan manusia, Allah kemudian mewujudkan hasilnya. Meskipun Dia mengetahui pilihan yang akan diambil oleh seseorang, tetapi pengetahuan-Nya tidak memaksa siapapun untuk memilih yang baik atau jahat. 

Hadhrat Masih Mau’ud as telah menguraikan topik ini dalam berbagai tulisan dan pidato. Pada satu kesempatan beliau menulis:

“Saat ini, terdapat kelompok umat Islam yang mengatakan bahwa doa tidak ada artinya dan takdir [qada dan qadar] pasti akan terjadi. Sungguh sayang! Orang-orang ini tidak menyadari bahwa meskipun terdapat kebenaran yang mendasari konsep takdir, tetapi Allah, dengan hukum alam-Nya, telah menetapkan hal-hal tertentu sebagai sarana untuk menghindari beberapa kesulitan. Sebagaimana air yang menjadi obat alami untuk menghilangkan dahaga, dan roti berfungsi untuk menghilangkan rasa lapar, mengapa kita harus heran dengan pendapat bahwa doa, sebagai sarana untuk memenuhi berbagai kebutuhan, juga terkandung dalam hukum alam yang diciptakan Allah, dan melalui kekuatan Ilahi, dia telah diberkahi dengan kekuatan untuk menarik berkat ilahi? Pengalaman dari ribuan nubuatan agama dan orang-orang saleh telah memberi kesaksian tentang kekuatan magnetis yang melekat pada doa. 

Kami juga telah mengumpulkan pengalaman pribadi kami mengenai hal ini dalam tulisan kami, dan tidak ada bukti yang lebih kuat daripada pengalaman.

Meskipun demikian adalah benar jika segala sesuatu telah ditentukan sebelumnya dalam takdir, sebagaimana telah ditetapkan bahwa seseorang akan jatuh sakit dan kemudian setelah menggunakan obat tertentu, akan sembuh, demikian pula, telah ditentukan secara azali bahwa jika seseorang yang kesulitan berdoa, maka sarana keselamatan akan tercipta baginya karena diterimanya doa tersebut. Pengalaman membuktikan bahwa, di manapun doa terkabul, dengan segala syaratnya, niscaya hal itu terkabul karena karunia Allah. Al-Qur’an menyinggung hal ini dalam ayat. 

اُدۡعُوۡنِيۡۤ اَسۡتَجِبۡ لَکُمۡ

“Teruslah berdoa kepada-Ku; Aku akan mengabulkan do’amu.” (Surah al-Mu’min, Bab.40: V61)

Sungguh mengherankan bahwa meskipun setiap orang yang percaya pada konsep takdir tetapi mereka tetap mencari dokter saat sakit, mengapa mereka tidak menyamakan dengan doa, dengan menganggapnya sebagai obat rohani?” (Ayyam as-Sulh, Ruhani Khazain, Vol. 14, hal. 232, footnote)

Sambil menjelaskan masalah takdir Allah, Hazrat Masih Mau’ud as bersabda yang terdapat dalam Malfuzat: 

“Kaum Arya mengajukan keberatan karena Al-Qur’an menyatakan,  خَتَمَ اللّٰہُ عَلٰي قُلُوۡبِہِمۡ Allah menyegal hati mereka.’ (QS Al-Baqarah [2]:8). Mereka mempertanyakan, ‘Jika Tuhan telah menutup hati mereka, maka bagaimana manusia bisa disalahkan?’ Pemikiran seperti ini muncul dari sudut pandang mereka yang sempit, karena mereka tidak memperhatikan konteks sebelum dan sesudah ayat tersebut. 

Al-Qur’an menerangkan bahwa segel yang ditetapkan oleh Allah ini pada dasarnya adalah konsekuensi dari tindakan manusia. Ketika suatu tindakan berasal dari manusia, maka sudah menjadi sunnatullah bahwa akan muncul tindakan serupa dari Allah. Misalnya, jika seseorang menutup pintu rumahnya, itu adalah perbuatannya. Namun sebagai akibat dari tindakannya itu, maka tindakan Allah dengan membawa kegelapan ke dalam rumah tersebut. Hal ini karena tindakannya sendiri yang menghalangi masuknya cahaya. Demikian pula, penyebab penyegelan ini telah disebutkan di tempat lain dalam Al-Qur’an: 

فَلَمَّا زَاغُوۡۤا اَزَاغَ اللّٰہُ قُلُوۡبَہُمۡ

“Tatkala mereka menyimpang, maka Allah pun menyebabkan hati mereka menyimpang. (QS as-Shaff [61]: 6). Hal ini mengacu pada ‘segel’. Tetapi Tuhan kita tidak akan sampai sedemikian rupa sehingga Dia tidak dapat melepaskan segel itu. Meskipun Dia telah menjelaskan alasan penyegelan, Dia juga telah mengungkapkan cara untuk membuka segel tersebut. Misalnya, Allah berfirman: 

فَاِنَّہٗ کَانَ لِلۡاَوَّابِيۡنَ غَفُوۡرًا

“Maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun terhadap orang-orang yang bertobat kepadanya-Nya. (QS Bani Israil [17]: 26).” (Malfuzat, Vol. 5, 2016, hal. 269-270)

Hazrat Muslih Mau’ud (ra), ketika menjelaskan masalah takdir dan nasib, beliau bersabda: 

“Mungkin akan terlintas dalam pikiran seseorang bahwa ketika saya menyebutkan ‘buku catatan abadi’ [sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Kahfi, 18:50], maka itu menunjukkan bahwa konsep takdir dan nasib adalah akurat seperti apa yang dipahami orang-orang pada umumnya. Namun, hal itu tidaklah benar. Al-Qur’an tidak menjelaskan konsep takdir dan nasib seperti yang dipahami oleh masyarakat Muslim pada umumnya, yang mereka tafsirkan karena ketidaksadaran mereka. Sebaliknya menurut Al-Qur’an, takdir dan nasib hanya menunjukkan bahwa suatu hukum telah ditetapkan bagi setiap manusia, bahwa jika ia bertindak dengan cara tertentu maka akan timbul akibatnya. Misalnya, jika mereka memakan cabai, lidahnya akan terasa terbakar; jika mereka makanan asam, hal itu akan memperparah sakit tenggorokan dan menunjukkan gejala-gejala pilek lainnya. Jika mereka mengkonsumsi makanan yang keras atau kurang matang, mereka akan mengalami sakit perut. Inilah yang disebut takdir dan nasib. Takdir dan nasib itu bukan artinya seseorang itu harus makan makanan yang keras atau basi di suatu hari dan kemudian menderita sakit perut. Ini keliru. Tuhan tidak bertindak seperti itu. Al-Qur’an dengan jelas menerangkan bahwa gagasan seperti itu salah. Jadi, yang tercatat atau tertulis secara abadi tidak ada hubungannya dengan takdir atau nasib, karena takdir dan nasib hanya tercipta ketika seseorang bertindak sejalan dengan apa yang telah ditentukan oleh Tuhan. Jika manusia diwajibkan untuk bertindak persis seperti yang telah Allah tuliskan, maka hal itu merupakan paksaan, maka konsep takdir dan nasib [yang umumnya dipahami] dapat dibenarkan. 

Tetapi, takdir Allah yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah Allah mengikuti [kehendak bebas] seseorang; apapun yang dilakukan manusia, Allah mencatatnya. Takdir dan nasib [yang dipahami umum] hanya akan benar jika Allah memaksa manusia, dan mereka bertindak karena adanya paksaan Tuhan. Tetapi kenyataannya, ketika manusia bertindak, maka Tuhan, setelah menetapkan diri-Nya untuk melakukan hal itu, mencatat tindakan yang ingin dilakukan manusia. Jadi, seseorang dapat mengatakan bahwa pencatatan [takdir] oleh Tuhan mencerminkan takdir manusia sesungguhnya, tetapi kita tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan telah menetapkan tindakan bagi manusaia melalui paksaan. (Sair-e-Ruhani, Anwar-ul-‘Ulum, Vol. 25, hal. 51-52)

Maka dari pernyataan tersebut menjadi jelas bahwa yang dimaksud dengan takdir dan nasib bukanlah maksudnya Allah Ta’ala memaksa manusia untuk berbuat sesuatu  dan kemudian menempatnya ke surga atau neraka. Sebaliknya hal itu menunjukkan bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan hukum bagi mereka: apapun yang dilakukan seseorang, maka Allah akan mewujudkan akibat yang sesuai dengan tindakan itu.”

Sumber: Al Hakam

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous post Apakah Wanita Haid Wajib Membayar Fidyah Puasa?
Next post Jika Laki-laki Mendapat Bidadari Surga, Lantas Apa yang Akan Didapatkan Perempuan?