Menjaga Lisan
Meskipun dari semua hal ini diketahui bahwa kenyamanan dan kebahagiaan tidak dapat dicapai tanpa takwa sejati, kita harus mengetahui bahwa ketakwaan memiliki banyak aspek yang tersebar seperti jaring laba-laba. Takwa berhubungan dengan seluruh anggota tubuh, keyakinan, lisan, akhlak dll. Hal yang paling halus di antara yang lain adalah berkaitan dengan lisan. Seringkali seseorang meninggalkan takwa dengan suatu perkataan, hati mereka senang karena mengatakan ini dan itu, padahal hal itu buruk.
Saya teringat akan sebuah cerita bahwa seorang suci diundang oleh orang duniawi. Ketika orang suci itu tiba untuk makan, tuan rumah yang merupakan orang sombong dan cenderung pada dunia berkata pada pelayannya, ‘Bawakanlah nampan yang aku bawa dari haji pertamaku.’ Lalu ia berkata, bawalah nampan kedua yang kubawa dari haji keduaku. Kemudian ia melanjutkan dengan berkata, ‘Bawakan juga nampan dari haji ketiga’. Orang suci itu berkata: ‘Kamu sangat menyedihkan’. Dalam tiga kalimat ini, engkau telah merusak tiga hajimu. Engkau hanya bermaksud mengatakan bahwa engkau telah menunaikan haji sebanyak tiga kali.’
Jadi Allah telah mengajarkan bahwa kita harus menjaga lisan dan menghindari hal-hal yang tidak berguna, tidak masuk akal, tidak pantas, dan tidak perlu.
[…] Lisan saja sudah cukup untuk menjauhkan manusia dari ketakwaan. Dengan lisan seseorang menjadi sombong, dengan lisan pula seseorang mulai meniru sifat-sifat seperti Firaun. Melalui lisan inilah seseorang mengubah kebaikannya yang tersembunyi menjadi riya‘. Lisan sangat cepat menimbulkan bahaya.
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (as), Malfuzat – Volume II (Farnham, Surrey: Islam International Publications Ltd., 2019), 135-136.
Average Rating