Seseorang dari Pakistan menulis surat kepada Hazrat Mirza Masroor Ahmad, “Merupakan pendirian dari Masih Mau’ud (as) dan Hazrat Muslih Mau’ud (ra) bahwa nabi dapat terbunuh, dan faktanya memang Nabi Yahya dibunuh. Tetapi Hazrat Khalifatul Masih IV (rh) menyatakan bahwa para nabi tidak dapat terbunuh dan pembunuhan Nabi Yahya (as) tidak didukung oleh sejarah. Dua pendapat ini nampak bertentangan. Mohon petunjuk mengenai hal ini.”
Huzur Anwar (aba), dalam suratnya tanggal 23 November 2022 memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut:
Terkait soal pembunuhan Nabi Yahya (as) dan Zakaria (as), terdapat perbedaan pandangan dalam teks-teks sejarah dan biografi, serta pendapat para ulama terdahulu. Berdasarkan penjelasan dari ayat-ayat Al-Qur’an dan tafsir hadits, di kalangan Jamaah Muslim Ahmadiyah juga terdapat berbagai pendapat. Pendirian saya mengenai hal ini sejalan dengan pandangan Hazrat Muslih Mau’ud (ra).
Saya mempertahankan pendirian saya berdasarkan Al-Qur’an, sabda Rasulullah saw dan petunjuk Hazrat Masih Mau’ud (as) bahwa tidak ada seorang nabi, baik nabi pertama ataupun nabi terakhir dari silsilah manapun, atau nabi yang Allah janjikan perlindungan dari jangkauan manusia, yang tidak dapat dibunuh.
Bagi sebagian nabi, pembunuhan tidak mencoreng martabat mereka atau mengurangi derajat kenabian mereka, karena dibunuh [di jalan Allah] juga merupakan salah satu cara untuk mencapai derajat syahid. Tetapi jika para nabi meninggal dalam kondisi misi mereka tidak terpenuhi, maka hal ini bertentangan dengan kedudukan mereka yang terhormat. Jadi, ketika seorang nabi telah menunaikan amanat ilahinya, kepergiannya dari dunia ini, baik karena kematian alami atau mati syahid, tidak akan ada keberatan padanya. Kepergian seperti ini, yang ditandai dengan selesainya misi mereka, tidak mencengangkan atau memberikan kepuasan para musuh.
Nabi Yahya (as) dan Zakaria (as) bukanlah nabi pertama atau terakhir dari silsilah kenabian manapun, dan juga tidak ada janji yang jelas dari Allah mengenai jaminan keselamatan dari musuh. Selain itu, menurut keyakinan kami, setelah mereka disyahidkan, mereka telah menunaikan tugas mereka yang diberikan oleh Allah Ta’ala dengan penuh loyalitas.
Hazrat Masih Mau’ud (as) dengan tegas menerangkan terbunuhnya Nabi Yahya (as) dan Nabi Zakaria (as) di banyak tempat. Misalnya ketika menafsirkan ayat berikut, beliau menjelaskan:
اَفَکُلَّمَا جَآءَکُمۡ رَسُوۡلٌ بِمَا لَا تَہۡوٰۤي اَنۡفُسُکُمُ اسۡتَکۡبَرۡتُمۡ فَفَرِيۡقًا کَذَّبۡتُمۡ وَفَرِيۡقًا تَقۡتُلُوۡنَ
“Apakah ini kebiasaan kalian wahai Bani Israil, jika ada rasul yang datang kepadamu, kamu mengingkari sebagian dari mereka dan membunuh sebagian yang lain. [Surah al-Baqarah, ayat 88]
(Ai’nah-e-Kamalati Islam, Ruhani Khazain, Vol. 5, hal. 34)
Dalam Hamamatul Busyra, Beliau menulis:
وما کان موت القتل نقصًا لأنبيائہ وکسرًا لشأنہم وعزّتہم، وکأيّن من النّبيّين قُتلوا في سبيل اللّٰہ کيحيٰي عليہ السّلام وأبيہ، فتفکّرْ واطلبْ صراط المہتدين ولا تجلس مع الغاوين.
“Kematian karena pembunuhan tidak berarti menjadi kekurangan bagi para nabi, dan juga tidak merendahkan kehormatan dan kedudukan mereka. Banyak nabi yang telah terbunuh di jalan Allah, seperti Yahya (as) dan ayahnya. Oleh karena itu, renungkanlah dan carilah jalan orang-orang yang mendapat petunjuk, dan jangan bergaul dengan orang-orang yang sesat.” (Hamamat-ul-Bushra, Ruhani Khazain, Vol. 7, hal. 255, catatan kaki)
Dalam karya beliau, Tuhfah Golarwiyah, Hazrat Masih Mau’ud bersabda:
“Kata ‘kama’ yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjukkan persamaan antara Musa (as) dan Muhammad (saw), juga digunakan dalam ayat کَمَا اسۡتَخۡلَفَ الَّذِيۡنَ , meskipun tidak menafikan perbedaan di antara keduanya. Patut dicatat bahwa Khalifah Islam ke-12, yang muncul pada pergantian abad ke-13, bersesuaian dengan Nabi Yahya (as) yang kepalanya dipenggal untuk sebuah bangsa yang keji (biarkan orang berakal memahami). Jadi, sangat penting bahwa Khalifah ke-12 adalah seorang Qurays, sebagaimana Nabi Yahya (as) adalah seorang Bani Israil. Namun, Khalifah Islam ke-13, yang muncul pada awal abad keempat belas dan diberi nama Masih Mau’ud, pastilah bukan dari Qurays, sama seperti Isa (as) yang bukan Israil. Sayyid Ahmad Barelwi adalah khalifah kedua belas dalam Kekhalifahan Muhammad, disamakan dengan Nabi Yahya (as) dan merupakan seorang sayyid.’ (Tuhfah-e-Golarwiyyah, Ruhani Khazain, Vol. 17, hal. 193-194)
Dalam buku Izala Auham, beliau menulis:
“Demikian pula, Nabi Yahya (as) juga menyebut orang-orang Farisi dan penatua Yahudi sebagai ‘keturunan ular beludak’ dan kepala beliau dipenggal karena kejahatan dan intrik mereka.’ (Izala Auham, Bag. 1, Ruhani Khazain, Vol.3, hal 110)
Berdasarkan pernyataan Masih Mau’ud (as), Hazrat Muslih Mau’ud (ra) juga menyatakan bahwa Nabi Yahya (as) memang dibunuh. Pada masa kekhalifahan beliau, muncul pembahasan mengenai hal ini yang mana beliau sampaikan tiga kali dalam khotbah Jumat. Dalam khotbah-khotbah itu, beliau menekankan bahwa Nabi Yahya (as) syahid, dan ini juga merupakan keyakinan Hazrat Masih Mau’ud (as) dan para sahabat beliau. Pada salah satu khotbah beliau menyampaikan:
“Tidak hanya sekali, tapi dalam banyak kesempatan, kami telah mendengar dari bibir Hazrat Masih Mau’ud (as), tidak hanya dalam satu corak, tetapi dalam berbagai gaya dan konteks, bahwa Nabi Yahya dibunuh. Sungguh tidak masuk akal bagi kita memiliki keyakinan bahwa Hazrat Masih Mau’ud tidak percaya bahwa Nabi Yahya dibunuh. Ini bukan sekedar tentang apa yang kita dengar dari bibir yang diberkati beliau; tetapi kami biasa berdiskusi mengenai hal ini, dan kami selalu menegaskan bahwa keyakinan Hazrat Masih Mau’ud as memang benar bahwa Nabi Yahya (as) disyahidkan. Misalnya, Hazrat Khalifatul Masih I berpandangan bahwa seorang nabi tidak dapat dibunuh, dan kami selalu berdebat dengan beliau tentang hal ini, dengan menyajikan referensi dari tulisan-tulisan Hazrat Masih Mau’ud (as). Akhirnya, sekitar tahun 1910, beliau mengalah, dengan mengatakan bahwa beliau tidak akan membahas masalah ini lagi; sebelumnya beliau selalu mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan seperti itu bersifat retorika, mirip dengan apa yang dikatakan Sir Sayyid Ahmad Khan dari Aligarh bahwa banyak pernyataan dalam Al-Qur’an bersifat spekulatif atau kiasan. Namun ketika kami dengan gigih menyajikan banyak referensi dan memberikan banyak kesaksian untuk membuktikan bahwa Hazrat Masih Mau’ud memang memegang keyakinan bahwa Nabi Yahya (as) syahid, beliau menyatakan bahwa beliau sekarang yakin dan beliau sebaiknya menahan diri untuk tidak membahas masalah ini lebih lanjut. Namun Hazrat Khalifatul Masih I (ra) tidak pernah mengatakan bahwa pendapat beliau itu karena mendengar langsung dari Hazrat Masih Mau’ud as. Beliau mengatakan, ‘Pemahamanku membawaku pada kesimpulan ini’, namun ketika kami mengetahui bahwa Hazrat Masih Mau’ud as meyakini bahwa beberapa Nabi disyahidkan, Hazrat Khalifatul Masih I (ra) kemudian mengatakan, ‘Sekarang saya memilih untuk diam dan tidak akan pernah membicarakan masalah ini lagi.’ (Khotbah Jumat, 26 Agustus 1938, Khutbat-e -Mahmud, Vol.19, hlm.569-570)
Mengenai pendirian yang diungkapkan oleh Hazrat Khalifatul Masih IV (rh) dalam daras Al-Qur’an, beliau tidak menyatakan bahwa pandangan beliau itu bersifat pasti, tetapi beliau menyarankan supaya ada penelitian lebih lanjut mengenai masalah ini. Selain itu, untuk mendukung pendiriannya, beliau mengutip pernyataan Hazrat Masih Mau’ud (as) sebagaimana disebutkan dalam sebuah percakapan yang menyatakan,
‘Karena salib diperuntukkan bagi penjahat, maka tidak pantas dengan martabat seorang nabi jika disalib. Jadi, Taurat menyatakan bahwa orang yang digantung adalah terkutuk. Demikian pula, penyakit-penyakit tercela seperti sifilis, yang biasanya menimpa orang-orang yang berakhlak rendah, akan dihindarkan pada para nabi. Meskipun pembunuhan terhadap para nabi-nabi [hakiki] tidak mengurangi kehormatan mereka, tetapi tidak ada bukti otentik terkait pembunuhan seorang nabi. Seorang nabi tidak dibunuh dengan cara-cara yang digunakan untuk orang-orang keji.’ (Al-Badr, No. 12, Vol. 2, 10 April 1903, pp. 90-91; Malfuzat [2016], Vol. 4, p. 356)
Kutipan ini berasal dari Malfuzat, sebuah kumpulan sabda-sabda Hazrat Masih Mau’ud (as), sebagaimana diceritakan oleh para periwayat atau penyusun dalam bahasa sehari-hari mereka, berdasarkan ingatan pendengaran mereka. Sebaliknya, kumpulan besar tulisan-tulisan Hazrat Masih Mau’ud (as) dengan jelas menegaskan keyakinan beliau mengenai pembunuhan Nabi Yahya (as). Kalimat dalam Malfuzat yang disebutkan di atas tidak menafikan adanya kemungkinan terbunuhnya para nabi, melainkan menggambarkan ketidakpantasan [kematian] dengan penyaliban, kematian karena penyakit tercela, atau eksekusi dengan yang cara yang diperuntukkan bagi orang jahat, dengan kedudukan para nabi yang terhormat.
Sumber: Al-Hakam
More Stories
Selamatnya Nabi Harun dari Upaya Pembantaian Fir’aun
Bagaimana Nabi Harun (as) selamat dari perintah Fir'aun untuk membantai anak-anak Bani Israil oleh Firaun? [Jawaban berdasarkan kajian Kitab Perjanjian...
Seperti Apa Shalawat Allah untuk Rasulullah saw?
Di dalam surah Al-Ahzab ayat 57 (dihitung dengan bismillah), Allah memerintahkan orang-orang mukmin untuk bershalawat kepada Rasulullah saw. Tetapi dalam...
Bolehkah Membaca Al-Qur’an Selama Haid (Menstruasi)
Seseorang menyampaikan penelitian kepada Hazrat Khalifatul Masih V, berupa kutipan dari berbagai ahli fikih dan para ulama, yang terkait dengan...
Kesahihan Hadits Cinta Tanah Air Bagian dari Iman
Cinta tanah air bagian dari iman adalah sebuah hadits yang cukup familiar kalangan umat Islam. Tetapi ada yang berpendapat bahwa...
Memahami Pertanyaan Malaikat di alam Kubur Saat Orang Meninggal?
Di dalam hadits terdapat riwayat yang berisi pertanyaan malaikat di alam kubur ketika orang meninggal. Seperti apa hakikatnya? Seseorang dari...
Mengapa Non-Muslim Lebih Sukses daripada Umat Islam?
Sebuah pertanyaan: Mengapa negara-negara non Muslim, yang nampak tidak beriman kepada Tuhan, bisa lebih sukses secara duniawinya? Bagi orang-orang yang...
Average Rating