Tulisan ini akan mejelaskan makna hadits لاَ نَبِيَّ بَعْدِي [La nabiyya ba’di – tidak ada nabi setelahku]. Muslim non-Ahmadi berpendapat bahwa hadits-hadits ini membuktikan bahwa sama sekali tidak akan ada nabi yang dapat datang setelah Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam).
Pemahaman seperti ini sebenarnya tidak hanya bertentangan dengan keyakinan mereka sendiri bahwa Nabi Isa (as) akan datang setelah Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) tetapi juga bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits mutawatir.
Pada kesempatan ini kami akan menjelaskan hadits-hadits yang mengandung pernyataan لاَ نَبِيَّ بَعْدِي [La nabiyya ba’di – tidak ada nabi setelahku].
Ahmadiyah dituduh tidak mengikuti Al-Qur’an dan hadits karena meyakini Mirza Ghulam Ahmad (as) sebagai seorang Nabi Allah. Padahal mereka lupa bahwa Almasih (Nabi Isa) secara definisi adalah nabi, seperti yang telah kami buktikan sebelumnya. Mereka juga lupa bahwa setiap umat Islam percaya akan datangnya seorang nabi setelah Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam). Perbedaannya hanya pada identitasnya saja. Muslim non-Ahmadi mengatakan bahwa sosok tersebut adalah Nabi Isa (as), dan Ahmadiyah mengatakan sosok tersebut adalah Mirza Ghulam Ahmad.
Hadits #1 – Tidak ada nabi selain khalifah
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ. قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ، أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ ”.
Rasulullah saw bersabda: “Bangsa Israil dulunya diperintah dan dibimbing oleh para Nabi, setiap kali seorang nabi meninggal nabi lain akan menggantikannya. Dan sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, namun akan ada khalifah yang jumlahnya akan bertambah.” Orang-orang bertanya, ‘Ya Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami (untuk kami lakukan)? Beliau bersabda, “Taatilah orang yang akan diberi baiat terlebih dahulu. Penuhilah hak-hak mereka (yaitu para Khalifah), karena Allah akan bertanya kepada mereka tentang (kekurangan) dalam memerintah orang-orang yang Allah tempatkan di bawah perwalian mereka.” (Bukhari Kitab Ahaditsul Anbiya, Bab ma dzukiro ‘an bani Israiila)
Muslim non-Ahmadi mengutip hadis ini dengan hanya berfokus pada kalimat “Tidak akan ada nabi setelahku” dan mengabaikan konteksnya dan hadis-hadits lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak ada nabi yang bisa datang setelah Muhammad (S.A.W) namun konteks hadis malah membantahnya.
Pertama, semua non-Ahmad percaya bahwa Nabi Isa (as) akan datang setelah Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam). Ia adalah seorang nabi dan tetap sebagai nabi saat kedatangan kedua kalinya. Jadi pernyataan mereka bahwa tidak ada lagi nabi yang dapat datang setelah Rasulullah saw membantah orang-orang yang menunggu kedatangan Nabi Isa di akhir zaman.
Kedua, konteks hadits ini memberikan gambaran yang sangat berbeda. Hadits itu memberitahukan bahwa tidak ada nabi yang akan menggantikan Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) seperti yang terjadi pada nabi-nabi Bani Israil yang langsung saling menggantikan. Hadits ini maksudnya adalah ‘langsung setelah beliau’ tidak akan ada nabi karena jika kita perhatikan hadits-hadits lain jelas bahwa:
- Almasih (Nabi Isa) akan datang di akhir zaman dan ia adalah Nabi, sehingga pendapat bahwa tidak ada nabi yang akan datang setelah Muhammad (S.A.W) akan bertentangan dengan ayat-ayat dan hadits tersebut.
- Nabi tidak akan langsung datang setelah Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam), yang menggantikan beliau adalah khalifah, bukan Nabi.
Ringkasnya, Nabi Muhammad saw menjelaskan bahwa ketika para nabi di kalangan Bani Israil wafat, nabi lain langsung menggantikannya. Misalnya:
- Nabi Sulaiman as menggantikan Daud as
- Nabi Yahya as menggantikan Nabi Zakaria (as)
- Nabi Yusuf as menggantikan nabi Yaqub (as) yang menggantikan Ishak (as).
Beliau kemudian menjelaskan bahwa setelah wafat, beliau tidak akan digantikan oleh seorang nabi, melainkan oleh seorang Khalifah.
Ketiga, kata ba’adi juga dapat merujuk pada status dan pangkat para nabi. Jadi kalimat “Tidak ada nabi setelahku’ atau ‘Laa Nabiyya Ba`di’, berarti bahwa seorang nabi yang status dan pengaruhnya sama tidak dapat datang setelah Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) yaitu nabi pembawa syariat. Hal ini telah dijelaskan secara rinci di bawah ini, pada penjelasan #2 Hadits #2.
Hadits #2 – Umar (ra) akan Menjadi Nabi?
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم “ لَوْ كَانَ بَعْدِي نَبِيٌّ لَكَانَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ
Rasulullah saw bersabda: “Seandainya ada nabi setelahku, pastilah Umar bin Khattab.” (Jami’ at-Tirmidzi 3686)
Non-Ahmadi mengatakan meskipun ada nabi yang datang setelah Muhammad (S.A.W), pastilah Umar (R.A) dan bukan Mirza Ghulam Ahmad (A.S).
Pemahaman ini sekali lagi salah, karena kami telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan la nabiyya ba’di.
- Kita tahu dari hadits lain bahwa tidak ada nabi yang bisa datang setelah Muhammad saw karena Khalifah yang akan menggantikan setelah beliau seperti terlihat dalam sahih Bukhari 3455 dan Musnad Ahmad, 4/273, #18596. .Demikian juga, Umar ra tidak mungkin menjadi nabi setelah Rasulullah saw.
- Kita juga tahu bahwa Umar ra tidak bisa menjadi Nabi sampai 30 dajjal muncul sebagaimana dijelaskan dalam Jami’ at-Tirmidzi 2218.
- Kita tahu bahwa setelah poin 1 dan 2 terpenuhi, maka yang akan datang itu adalah Nabi Isa yang berpangkat sebagai nabi. Hal ini dijelaskan dalam Tabrani, Hadits #4895.
Hal ini membuktikan bahwa hadits di atas spesisifik untuk Umar (ra) dan bukan untuk Mirza Ghulam Ahmad, karena hanya umar (ra) yang tidak bisa menjadi nabi setelah Muhammad saw karena poin-poin di atas. Hal ini tidak berlaku bagi Mirza Ghulam Ahmad karena beliau tidak menggantikan Nabi Muhammad saw sebagai nabi, dan beliau juga tidak datang sebelum dajjal ke-30, melainkan beliau datang pada waktu kedatangan Almasih.
Hadits #3. Ibrahim sebagai Nabi? (Bukan perkataan Rasulullah saw)
قُلْتُ لاِبْنِ أَبِي أَوْفَى رَأَيْتَ إِبْرَاهِيمَ ابْنَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَاتَ صَغِيرًا، وَلَوْ قُضِيَ أَنْ يَكُونَ بَعْدَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم نَبِيٌّ عَاشَ ابْنُهُ، وَلَكِنْ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ.
Diriwayatkan oleh Ismail: Saya bertanya kepada Abu Aufa, ‘Apakah kamu melihat Ibrahim putra Nabi (saw)? Ia berkata, “Ya tetapi ia meninggal pada usia dini. Seandainya ada nabi setelah Muhammad, maka putranya akan tetap hidup, tetapi tidak ada nabi setelah beliau.” (Sahih al-Bukhari 6194)
Hadits ini juga digunakan oleh non ahmadi untuk membuktikan bahwa Mirza Ghulam Ahmad (as) adalah Almasih palsu dan nabi palsu karena para sahabat dengan jelas memahami hadits la nabiyya badi tidak ada nabi setelah Muhammad (saw).
Pertama, kami menolak riwayat berdasarkan dirayah ini karena bersifat menghujat. Bagaimana bisa kita menerima maqam khatamun nabiyyin, yang merupakan gelar terpenting Nabi Muhammad (saw) berada dalam ancaman karena hidup atau matinya seorang anak? Hal ini karena penafsiran bahwa Ibrahim meninggal hanya karena bertentangan dengan Khatmiyyat Nabi Muhammad saw itu sangat tidak pantas.
Kedua, meskipun hadits ini sahih menurut kaidah dirayat, penafsiran yang kami berikan pada hadits ini tetap berlaku.
- Kita tahu dari hadits lain bahwa tidak ada nabi lain setelah Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam), yang ada adalah khalifah yang terus menggantikan beliau secara langsung sebagaimana kita lihat dalam Sahih al-Bukhari 3455 dan Musnad Ahmad, 4/273, #18596. Jadi Ibrahim tidak dapat menjadi Nabi setelah Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam).
- Kita tahu juga bahwa Ibrahim tidak bisa menjadi nabi sebelum 30 Dajjal muncul seperti dijelaskan dalam at-Tirmidzi 2218.
- Kita juga tahu bahwa jika poin 1 dan 3 terjadi, Almasih yang akan muncul sebagai nabi. Ini dijelaskan dalam Tabrani hadits #4895
Ketiga, kata ba’adi juga dapat merujuk pada status dan pangkat para nabi. Jadi kalimat ‘Tidak ada nabi setelah aku’ atau ‘Laa Nabiyya Ba`di’, berarti bahwa seorang nabi yang status dan pengaruhnya sama tidak dapat datang setelah Muhammad (S.A.W) yaitu nabi pembawa syariat. Hal ini sudah dijelaskan secara rinci di atas, pada penjelasan #2 Hadits #2.
Hadits #4 – Ali (ra) bagiku seperti Harun dan Musa as
قَالَ “ أَلاَ تَرْضَى أَنْ تَكُونَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى إِلاَّ أَنَّهُ لَيْسَ نَبِيٌّ بَعْدِي
Diriwayatkan oleh Sa’d: Rasulullah saw pergi ke Tabuk dan menunjuk Ali sebagai wakilnya d(di Madinah), ALi berkata, Apakah engkau ingin meninggalkan aku bsersama anak-anak dan wanita? Nabi saw bersabda: “Tidakkah kamu senang jika kamu bagiku kedudukannya seperti Harun dan Musa? tetapi tidak ada nabi setelahku.” (Sahih al-Bukhari 4416)
Hadits ini juga digunakan untuk membuktikan bahwa tidak ada nabi setelah nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam). Hal ini tidak hanya bertentangan dengan keyakinan bahwa Nabi Isa akan datang setelah Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam), tetapi juga ada kesalahpahaman. Terdapat beberapa penjelasan mengenai hal ini:
Penjelasan #1
Hadits tersebut secara sederhana menjelaskan bahwa Ali ra bukanlah seorang nabi setelah Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) karena Nabi Muhammad tidak akan digantikan oleh seorang nabi tetapi khalifah dan nabi hanya datang setelah 30 dajjal muncul. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang beru kami berikan di atas.
- Kita tahu dari hadits lain bahwa tidak ada nabi lain setelah Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam), yang ada adalah khalifah yang terus menggantikan beliau secara langsung sebagaimana kita lihat dalam Sahih al-Bukhari 3455 dan Musnad Ahmad, 4/273, #18596. Jadi Ali (ra) tidak dapat menjadi Nabi setelah Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam).
- Kita tahu juga bahwa Ali (ra) tidak bisa menjadi nabi sebelum 30 Dajjal muncul seperti dijelaskan dalam at-Tirmidzi 2218.
- Kita juga tahu bahwa jika poin 1 dan 3 terjadi, Almasih yang akan muncul sebagai nabi. Ini dijelaskan dalam Tabrani hadits #4895
Penjelasan #2
Kata ba’adi juga dapat merujuk pada kedudukan dan kepangkatan para nabi. Jadi kalimat ‘Tidak ada nabi setelah aku’ atau ‘Laa Nabiyya Ba`di’, berarti bahwa seorang nabi yang status dan pengaruhnya sama tidak dapat datang setelah Muhammad (S.A.W) yaitu nabi pembawa syariat.
Tafsir tersebut bukan pendapat yang kita kita buat-buat, tetapi dibuktikan dari berabgai hadits dan penjelasan ulama di berbagai zaman.
Hadits #1 – Tidak ada Kaisar Setelah Kaisar
إِذَا هَلَكَ كِسْرَى فَلاَ كِسْرَى بَعْدَهُ، وَإِذَا هَلَكَ قَيْصَرُ فَلاَ قَيْصَرَ بَعْدَهُ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتُنْفِقُنَّ كُنُوزَهُمَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Rasulullah saw bersabda, “Ketika Kisra binasa, tidak akan ada lagi Kisra setelahnya, dan ketika Kaisar binasa tidak akan ada Kaisar lagi setelahnya. Demi Dia yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, niscaya kamu akan menafkahkan harta mereka di jalan Allah.” (Sahih Bukhari, Kitabul Manaqib, bab ‘alaamaatin-nubuwwati fil Islam)
Dalam hadits ini, Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) menubuatkan bahwa tidak akan ada lagi Raja Kisra dan Kaisar setelah yang sekarang. Bagi yang belum tahu, Kaisar adalah gelar bagi Kaisar Bizantium sedangkan Kisra [Khosrau] adalah gelar bagi Kaisar Persia. Maka jika kata ‘ba’di‘ diartikan seperti pengertian non-Ahmadi (walaupun hal itu bertentangan dengan keyakinan mereka sendiri bahwa Isa (as) akan datang) maka, naudzubillah min dzalik, Rasulullah saw gagal dalam nubuatannya.
Faktanya, kedua kerajaan itu terus bertahan sampai bertahun-tahun setelah kewafatan Rasulullah saw, dan masih banyak datang Kisra-kisra dan Kaisar-kaisar yang memerintah setelahnya.
Maksud sebenarnya hadits ini adalah tidak akan ada Kisra atau Kaisar yang memiliki kekuasaan yang sama dengan yang ada saat ini dan kerajaan mereka akan mengalami kemunduran. Jadi kata ‘ba’di‘ di sini artinya status kaisar berikutnya akan berkurang. Ini adalah pandangan dari semua kalangan Suni dan Syiah sebagai bantahan kepada para Islamofobia yang menjadikan hadits ini sebagai bukti bahwa Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) keliru dalam nubuatannya, sehingga beliau dapat dinyatakan sebagai nabi yang salah.
Imam al-Khattabi (932-1010/310-388 H) dalam tafsirnya pada Hadits Bukhari menulis:
“Yang dimaksud dengan ‘ketika Kaisar binasa, tidak ada lagi Kaisar setelahnya’ adalah tidak akan ada lagi Kaisar yang kekuatan dan pengaruhnya melebihi Kaisar pada masa itu. Kaisar saat itu kemudian tinggal di Yerusalem, sebuah kota yang tidak memiliki hak berkunjung di mana umat Kristen tidak bisa menjalankan ibadahnya secara sempurna. Tidak ada seorangpun yang pernah pergi ke Roma tanpa mengunjungi kota itu, baik secara terbuka maupun diam-diam. Jadi, Kaisar pada saat itu diusir dari kota dan harta karunnya dibuka, dan tidak ada Kaisar yang pernah memegang kendali atas kota itu setelahnya. [‘A’alamul Hadith, 1447/2]
Demikian pula pandangan para ulama seperti Ibnu Hajar Al-Asqalani (1372-1449 M/750-870 H) dan Abu Hatim al-Razi (811–890 M/189-268 H
Jadi, seperti halnya, kata ‘ba’di’ artinya adalah tidak akan ada Kaisar dengan status yang sama di masa akan datang, begitu juga, kata ba’di’ juga berarti bahwa seorang nabi yang memiliki status yang sama dengan Nabi Muhammad saw tidak akan ada, yaitu seorang nabi yang membawa syariat baru tidak akan datang. Namun seorang nabi ummati (yang tidak membawa syariat baru) dapat datang dengan status yang lebih rendah dari Rasulullah saw. Hal inilah yang kami tunjukkan di atas ketika mengutip ayat-ayat dan hadits pada sub judul ‘Kesinambungan Kenabian’
Hadits #2 – Tidak ada Hijrah Setelah Hijrah
كَانَ يَقُولُ لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ.
Diriwayatkan oleh Mujahid bin Jabir Al-Makki:`Abdullah bin `Umar pernah berkata, “Tidak ada lagi Hijrah setelah Fatah Mekah.” [Sahih al-Bukhari, Kitabul Manaqib al-Anshar, bab hijratunnabiy wa ashabihi ilal madinati]
Hadits ini juga memberikan penjelasan lebih lanjut tentang Kisra dan Kaisar yang menggunakan kata ba’da. Kita tahu bahwa hijrah masih terus terjadi hingga saat ini. Orang-orang berhijrah dari satu tempat ke tempat lain bahkan sampai saat ini. Mengartikan bahwa tidak ada lagi hijrah setelah Fatah Mekkah sama artinya kita menganggap bahwa Rasulullah sawa berbohong, naudzubillah min dzalik.
Jadi jika kita memasukkannya ke dalam konteks seperti hadits lainnya, maka hal ini membuktikan dua hal:
- Hijrah dengan suasana yang sama dengan saat Fatah Mekkah tidak akan terjadi, seperti halnya kaisar dengan derajat yang sama dengan Kisra dan Qaisar Bizantium tidak akan dapat ada lagi, atau tidak ada lagi nabi dengan derajat yang sama dengan Nabi Muhammad saw yang tidak akan datang lagi.
- Hadits ini juga dapat diartikan bahwa Fatah Mekkah adalah hijrah terakhir pada masa Rasulullah saw. Jadi, ketika beliau mengatakan bahwa tidak ada nabi lagi setelah beliau, hal ini spesifik pada masa beliau sehingga tidak ada nabi yang akan menggantikan beliau atau datang setelah beliau. Hal ini sudah dijelaskan di atas.
Aisyah (ra) Menjelaskan Nabi Muhammad (saw) Tidak Mutlak Nabi Terakhir
Penjelasan bahwa nabi yang tidak membawa syariat bisa datang setelah Rasulullah (saw) juga diberikan oleh Aisyah (ra) sendiri dan beberapa ulama Islam. Beliau berkata,
قولوا انه خاتم النبیین ولا تقولوا لا نبی بعدہ
“Katakanlah, bahwa beliau (Rasulullah saw) adalah Khatamun Nabiyyin, tetapi jangan katakan tidak ada nabi lagi setelah beliau.‘ [Musannaf Ibnu Abi Shaybah; v.14, hal.521]
Dalam riwayat tersebut Aisyah (ra) menjelaskan bahwa Khatamun Nabiyyin bukanlah istilah untuk menunjukkan keterakhiran mutlak kenabian. Beliau mengklarifikasi supaya umat Islam tidak memahaminya secara harfiah dan mengingkari kemungkinan turunnya Almasih di akhir zaman. Pandangan beliau ini menjadi kenyataan dalam waktu tidak lama setelah itu saat aliran rasionalis (mutazalit) yang mulai menolak datangnya Nabi Isa.
Keterangan ini tidak hanya sahih, tetapi juga dikuatkan oleh ulama Salafi Sa’d b. Nasir al-Shathri dan dijelaskan oleh banyak ulama.
Imam Ibn-e-Qutaibah (wafat tahun 267 H):
“Penafsiran yang dikemukakan oleh Aisyah (ra) tidak bertentangan dengan kata-kata Nabi (saw). Maksud Nabi (saw) adalah tidak akan ada nabi setelah beliau yang akan membatalkan syariatnya.” [Ta’wilu Mukhtalifil-Ahadits, hal. 127]
Mulla Ali Qari menulis:
“Dan hal ini tidak menafikan ayat ‘Khatamun Nabiyyin (33:40) yang artinya, ‘tidak akan datang seorang pun nabi yang akan membatalkan agamanya atau bukan berasal dari umat beliau.” [Asrar ul Marfu’ah, hal. 285]
Syah Waliyyullah Muhaddith Dehlawi, Mujaddid abad ke-12:
“Dari kata-kata la nabiyya ba’di yang diucapkan oleh Rasulullah (saw), kita mengetahui dengan pasti bahwa tidak akan ada Nabi setelah beliau yang akan membawa hukum atau syariat baru “[Qurratul-‘Ainain fi Tafdilish-Shaikhain, hal. 319]
Hazrat Imam ‘Abdul-Wahhab Sya’rani (meninggal tahun 976 H.) menulis:
“Pernyataan Nabi (saw) bahwa tidak akan ada Nabi atau Rasul setelahnya artinya adlaah tidak akan ada Nabi pembawa hukum setelahnya.” [al-Yawaqit wal-Jawahir, vol. 2, hal. 35]
Kutipan di atas membuktikan bahwa pernyataan Aisyah (ra) adalah shahih karena tidak ada satupun ulama yang menolaknya melainkan mereka melakukan penafsiran (ta’wil) terhadapnya. Para ulama hanya melakukan hal itu ketika mereka menganggap bahwa riwayatnya shahih. Untuk lebih banyak penjelasan ulama, bisa dilihat artikel ini.
Kutipan ini membuktikan bahwa nabi-nabi yang tidak membawa syariat baru bisa datang setelah Nabi Muhammad (saw), sehingga kalimat ‘tidak ada nabi setelahku’ tidak bersifat mutlak, tetapi mengacu pada jenis nabi tertentu.
Hadits #5 – 30 Dajjal
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَنْبَعِثَ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ قَرِيبٌ مِنْ ثَلاَثِينَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ
“Hari kiamat tidak akan terjadi hingga muncul 30 dajjal pendusta, semuanya mengaku bahwa ia adalah rasul Allah.” (Kitabul Fitan ‘an Rasulillah saw, bab ma jaa’a la taqumu as-sa’atu hatta yakhruja kadzdzaabiin)
Non-Ahmadi menjadikan ayat ini untuk menunjukkan bahwa Nabi Muhammad (saw) telah menubuatkan bahwa akan ada 30 dajjal yang akan mengaku nabi dan salah satunya adalah Mirza Ghulam Ahmad (as).
Pertama, hal ini sebenarnya membenarkan pandangan kami bahwa kenabian tidak tertutup selamanya. Rasulullah (saw) secara khusus memberikan angka spesifik (angka yang memiliki akhir), bukannya mengatakan SEMUA orang yang mengaku nabi setelah beliau adalah palsu. Hal ini karena dari berbagai ayat Al-Qur’an dan hadits menunjukkan bahwa para nabi dapat muncul di masa depan, khususnya Almasih akhir zaman.
Kedua, jumlah 30 Pembohong ini sudah lama tergenapi sebelum wafatnya Mirza Ghulam Ahmad (as) seperti yang ditunjukkan oleh beberapa ulama Islam.
ʻIyāḍ Ibn-Mūsā al-Ubbi (d. 827 AH): [Ikmal al-Mu ‘lim bi-Fawa’id, pg. 463]
Muhammad Bin Yusuf al-Sanusi al-Hasani:
“Ini akan menjadi bukti bagi setiap orang yang mempelajari sejarah Islam bahwa kebenaran hadits ini telah tergenapi sepenuhnya. Jumlah Pembohong sejak Rasulullah (saw) hingga saat ini telah mencapai jumlah yang telah disebutkan oelh Rasulullah saw dalam nubuatannya. [Mukammil Ikmal al-Ikmal, hal. 372]
Alamah Qastalani berkata:
“Qadi ‘Ayad menyatakan kebenaran hadits ini telah sempurna karena jika dihitung jumlah orang-orang yang mengaku nabi palsu yang terkenal sejak zaman Rasulullah saw sampai saat ini, maka jumlah tersebut telah terpenuhi” [Al-Muwahib al-Ladunniyyah, v2, h.198] [Diterbitkan sekitar tahun 1500 M]
Nawab Siddiq Hassan Khan:
“Nubuat yang disampaikan oleh Nabi (saw) mengenai kedatangan Dajjal di umat ini telah terpenuhi dan jumlah mereka seperti yang dinubuatkan telah sempurna.” [Hijajul Kiramah, hal. 239] [Diterbitkan pada tahun 1874 M sebelum pengakuan Ahmad (A.S) sebagai nabi]
Hadis #6 – Kenabian/Rasul telah berakhir
إِنَّ الرِّسَالَةَ وَالنُّبُوَّةَ قَدِ انْقَطَعَتْ فَلاَ رَسُولَ بَعْدِي وَلاَ نَبِيَّ ” . قَالَ فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ ” لَكِنِ الْمُبَشِّرَاتُ ” . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْمُبَشِّرَاتُ قَالَ ” رُؤْيَا الْمُسْلِمِ وَهِيَ جُزْءٌ مِنْ أَجْزَاءِ النُّبُوَّةِ
Anas bin Malik meriwayatkan: Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya risalah dan kenabian telah berakhir, maka tidak akan lagi rasul setelahku, dan tidak juga nabi. [Anas ra] berkata: ‘orang-orang menjadi khawatir tentang hal ini’, maka Rasulullah saw bersabda: ‘Tapi akan ada Mubasysyiraat‘. Maka mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, apa itu Mubasysyiraat?’, Beliau menjawab, ‘Impian kaum Muslim, karena itu adalah sebagian dari kenabian.” (Jami at-Tirmidzi Kitabu ar-Ru’ya ‘an Rasulillah saw, bab dzahabatin-nubuwwatu baqiyatil mubasysyiraatu)
Riwayat ini dijadikan oleh umat Islam untuk membuktikan bahwa sejak kenabian dan kerasulan berakhir, tidak ada seorangpun setelah Nabi Muhammad (saw) yang akan diangkat menjadi nabi dan Nabi Muhammad dengan jelas mengatakan bahwa tidak akan ada lagi nabi dan rasul setelah beliau.
Pertama. Penafsiran ini bertentangan dengan pemahaman para Sahabat dan ulama Islam.
Ibnu Abbas (ra) menjelaskan bahwa Muhammad (saw) mengucapkan kata-kata ini ketika beliau sakit dan kemudian beliau meninggal dunia dan ini merujuk secara spesifik pada kenabian beliau sendiri. Hal ini dirinci dalam tafsir hadits yang sama dalam Bukhari 6990 oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani:
“Kenabian yang dimaksud di sini adalah kenabian beliau, yaitu kenabian khusus Nabi Muhammad saw dan ini artinya tidak ada yang tersisa dari kenabian khusus beliau kecuali mubasysyirat (penglihatan yang benar). [Fath al-Bari, jilid 12, hal 321]
Kedua, makna lain hadis ini sama seperti yang telah kami jelaskan pada hadis lainnya. Langsung setelah Nabi Muhammad wafat, tidak akan ada lagi nabi yang datang, karena langsung setelah beliau akan ada Khilafah, kemudian muncul 30 Dajjal, barulah muncul masa kedatangan Nabi Isa. Tidak mungkin ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW, karena akan ada khilafat, maka harus muncul 30 Dajjal, barulah tiba saatnya Almasih.
- Kita tahu dari hadits lain bahwa tidak ada nabi lain setelah Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam), yang ada adalah khalifah yang terus menggantikan beliau secara langsung sebagaimana kita lihat dalam Sahih al-Bukhari 3455 dan Musnad Ahmad, 4/273, #18596. Jadi Ali (ra) tidak dapat menjadi Nabi setelah Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam).
- Kita tahu juga bahwa tidak ada yang bisa menjadi nabi sebelum 30 Dajjal muncul seperti dijelaskan dalam at-Tirmidzi 2218.
- Kita juga tahu bahwa jika poin 1 dan 3 terjadi, Almasih yang akan muncul sebagai nabi. Ini dijelaskan dalam Tabrani hadits #4895
Ketiga, Imam Tirmidzi (R.H) bahkan menilai hadis ini sebagai Sahih Gharib yaitu shahih namun asing. Hal ini karena hadits yang sama ditemukan di banyak kitab termasuk Bukhari 6990 tetapi hanya versi ini yang ditemukan dengan susunan kata yang berbeda. Oleh karena itu, kita harus melihat versi lain dari hadis ini untuk memahami maknanya.
Keempat, kata ba’di juga dapat merujuk pada derajat dan pangkat para nabi. Jadi kalimat, tidak ada nabi setelahku, berarti seorang nabi yang derajat dan pengaruhnya sama tidak akan datang setelah Nabi Muhammad saw, yaitu nabi pembawa syariat baru. Hal ini sudah diejlaskan dalam penjelasan #2, hadits #2
Kelima, hadits tersebut membuktikan keberlanjutan jenis kenabian khusus dalam bentuk mubasysyirat, yang merupakan bagian dari kenabian. Jadi, jika sebagian dari kenabian tetap ada, bagaimana bisa dikatakan bahwa kenabian telah berakhir sepenuhnya?
Keenam, Muhammad (saw) mulai menerima kabar suka tentang kenabiannya melalui mubasysyirat, yang pada dasarnya penglihatan atau mimpi yang benar (رُؤْيَا). Jika Rasulullah saw, nabi yang paling sempurna, diangkat sebagai nabi melalui mubasysyirat, maka siapapun setelahnya dapat diangkat sebagai nabi dengan cara yang sama.
أَنَّهَا قَالَتْ أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنَ الْوَحْىِ الرُّؤْيَا الصَّادِقَةُ فِي النَّوْمِ
Diriwayatkan oleh Aisyah (ra): “Permulaan wahyu Ilahi kepada Rasulullah (saw) berupa ru’ya shadiqah (mimpi yang benar) dalam tidurnya.” (Shahih Bukhari, Kitabut-Ta’biir. Bab awwalu ma budi’a bihi Rasulullah saw minal wahyi ar-ru’ya as-shalihah)
Kesimpulan
Ringkasnya, la nabiyya ba’di atau ‘tidak ada lagi nabi setelahku’ bukan berarti kenabian telah berakir sampai kiamat. Hal ini karena kita memiliki banyak ayat dan hadits yang menunjukkan bahwa nabi dapat datang di masa depan, khususnya kedatangan Nabi Isa dan berpangkat nabi. Atas dasar itu, La Nabiyya ba’di memiliki dua makna.
Pertama, tidak ada nabi yang dapat datang setelah Rasulullah saw karena yang langsung menggantikan setelah beliau adalah Khalifah, kemudian 30 dajjal akan datang yang semuanya mengaku sebagai nabi. Ketika dua hal itu telah terjadi, barulah datang seorang nabi kembali, yaitu Nabi Isa Almasih.
Kedua, Ba’di dalam kalimat la nabiyya ba’di menunjukkan bahwa tidak akan ada nabi yang datang setelah Nabi Muhammad (saw) yang memiliki derajat yang sama, sebagaimana dijelaskan dalam sahih Bukhari 3618 dan Sahih al-Bukhari 3899. Hal ini membuktikan bahwa tidak akan ada nabi pembawa syariat yang bisa datang setelah Muhammad (saw).
Diterjemahkan dari White Minaret
About Post Author
islamdamai
More Stories
Siapakah Khalifah Islam Saat ini?
Minggu lalu, jika kalian mengetik di Google: ‘Siapakah Khalifah Islam saat ini?’ Maka hasil pencarian yang muncul adalah: Hazrat Mirza...
100 Tahun Ahmadiyah Kababir, Haifa dan Cara Menyambutnya
Dalam kesempatan Virtual Meeting Ahmadiyah Kababir, Haifa dengan Huzur pada 5 Juni 2021, seorang anggota yang bernama Tuan Falah...
Nabi Isa Naik ke Langit Bertetangan dengan Sunnah Rasulullah
Sebagian umat Islam percaya bahwa Nabi Isa naik ke langit dan masih hidup sampai saat ini, padahal keyakinan ini bertentangan...
Kebenaran Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Berdasarkan 9 Kriteria Heraclius
Tulisan ini merupakan tinjauan atas kebenaran Hazrat Mirza Ghulam Ahmad berdasarkan kriteria Heraclius dalam menentukan kebenaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam....
Gerhana Bulan dan Matahari Tanda Kedatangan Imam Mahdi. Keaslian Hadits dan Penggenapannya
Terdapat sebuah hadits yang menjelaskan tentang Tanda Imam Mahdi di akhir zaman, yaitu terjadinya gerhana bulan dan gerhana matahari di...
Surah Al-Jumuah dan Kedatangan Nabi Muhammad Kedua Kali
Dimotivasi oleh penjelasan yang keliru terhadap Al-Qur'an yang disampaikan oleh sekelompok orang yang disebut Ulama, sejumlah penentang mengajukan pertanyaan mengenai...
Average Rating