Seorang wanita non-Ahmadi dari Jerman meminta petunjuk dari Hazrat Mirza Masroor Ahmad mengenai female genital mutilation (FGM) atau sunat perempuan. Huzur Anwar [aba], dalam suratnya tertanggal 8 Desember 2022, memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut sebagai berikut:
Baik Al-Quran maupun hadits tidak memerintahkan mutilasi alat kelamin perempuan (sunat). Namun sunat pada laki-laki dianggap sebagai fitrah. Misalnya, diriwayatkan dalam Sahih al-Bukhari dari Abu Hurairah rhadiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْفِطْرَةُ خَمْسٌ ـ أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ ـ الْخِتَانُ، وَالاِسْتِحْدَادُ، وَنَتْفُ الإِبْطِ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ، وَقَصُّ الشَّارِبِ
“Fithrah itu ada lima, atau ada lima fithrah yaitu: khitan (sunat), mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan mencukur kumis.” (Sahih al-Bukhari, Kitab al-libas, Bab Qashshi-syaarib)
Praktik sunat pada laki-laki sudah menjadi hal yang lazim di kalangan umat Islam. Sebaliknya, tidak didapati praktik berkelanjutan yang berasal dari zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai sunat perempuan. Terkait dengan segelintir hadits yang menyebutkan tentang sunat pada perempuan, para ulama hadits mengkritik ketsiqohan beberapa perawinya, dengan menyebut bahwa beberapa perawi yang tidak diketahui [majhul] atau terlibat dalam tadlis, yakni sengaja menyampaikan informasi yang tidak jelas, dan para ulama mengkategorikannya sebagai hadits dhaif [lemah] dan munqathi‘ [terputus].
Sebelum datangnya Islam, beberapa suku Arab mempraktikkan sunat pada perempuan, seperti yang masih dilakukan di beberapa wilayah Afrika saat ini. Namun Syariat Islam tidak memerintahkan surat bagi perempuan.
Para pendukung sunat perempuan seringkali menyatakan bahwa sunat perempuan bertujuan untuk mengurangi hasrat seksual. Adanya hasrat seksual baik pada laki-laki dan perempuan merupakan fitrat alami dari Allah. Islam tidak memberikan pedoman apapun yang bertentangan dengan fitrat. Tetapi Islam memberikan ajaran bagaimana menyalurkan fitrat alami tersebut secara semestinya. Misalnya, perhiasan merupakan sifat bawaan perempuan. Islam tidak melarang perhiasan, namun, hukum Islam memerintahkan supaya perempuan berdandan untuk pasangannya daripada tampil di depan orang yang bukan mahramnya, untuk mencegah munculnya penyakit sosial, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Jika tujuan di balik sunat adalah untuk benar-benar menghilangkan hasrat seksual perempuan, sehingga menjadikan seorang perempuan sbeagai budak maka hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Islam menentang perbudakan dan secara konsisten mengajarkan emansipasi budak.
“Di masa kekhilafahannya, Umar rhadiyallahu ‘anhu suatu kali berjalan-jalan di gang-gang Madinah pada malam hari dan beliau mendengar seorang wanita yang tengah meratapi ketidakhadiran suaminya karena ada di medang perang, melalui puisi yang menyentuh hati. Ketika ditanya tentang keadaannya, ia mengungkapkan bahwa suaminya telah dikirim ke medan perang selama beberapa bulan, dan kerinduan terhadap suaminya semakin besar. Umar rhadiyallahu ‘anhu bertanya apakah ia mempunyai niat buruk, dan ia bersumpah dan berlindung kepada Allah dari hal-hal tersebut. Umar rhadiyallahu ‘anhu meyakinkannya untuk tetap tenang dan mengirim utusan untuk memanggil suaminya. Selanjutnya, beliau mengunjungi Hafsah rhadiyallahu ‘anha dan menceritakan dilema yang mengganggunya, dan meminta pendapatnya tentang berapa lama seorang wanita dapat bertahan tanpa suaminya. Setelah mendengar hal ini, Hafsah rhadiyallahu ‘anha, karena kesopanannya menundukkan kepalanya. Umar rhadiyallahu ‘anhu menegaskan, ‘Allah Ta’ala tidak menghindar dari kebenaran,’ dan mendorong Hafsah rhadiyallahu ‘anha untuk menunjukkan dengan jarinya, (dan ditunjukkan dengan jarinya) jangka waktu tiga sampai empat bulan. Akhirnya Umar rhadiyallahu ‘anhu mengeluarkan perintah kepada para pejabatnya untuk tidak menjauhkan tentara dari istrinya lebih dari empat bulan. (Musannaf ‘Abd al-Razzaq, Vol. 7, hal. 151, Hadits No. 12593; Tarikh al-Khulafa, Jalal al-Din al-Suyuti, Bab Umar ra, Fasl fi nubadhin min akhbarihi wa qadayahu)
Jika sunat pada perempuan menghilangkan hasrat seksual perempuan, dan praktik ini lazim di kalangan orang Arab, lalu mengapa perempuan ini merasakan kebutuhan akan keintiman fisik dengan suaminya?
Dengan demikian, terbukti bahwa sunat pada perempuan sama sekali tidak lazim pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Khalifah Rasyidah. Kalaupun dilakukan di suatu daerah, itu hanya adat setempat dan tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam.
Sumber: Al Hakam
About Post Author
islamdamai
More Stories
Selamatnya Nabi Harun dari Upaya Pembantaian Fir’aun
Bagaimana Nabi Harun (as) selamat dari perintah Fir'aun untuk membantai anak-anak Bani Israil oleh Firaun? [Jawaban berdasarkan kajian Kitab Perjanjian...
Seperti Apa Shalawat Allah untuk Rasulullah saw?
Di dalam surah Al-Ahzab ayat 57 (dihitung dengan bismillah), Allah memerintahkan orang-orang mukmin untuk bershalawat kepada Rasulullah saw. Tetapi dalam...
Bolehkah Membaca Al-Qur’an Selama Haid (Menstruasi)
Seseorang menyampaikan penelitian kepada Hazrat Khalifatul Masih V, berupa kutipan dari berbagai ahli fikih dan para ulama, yang terkait dengan...
Kesahihan Hadits Cinta Tanah Air Bagian dari Iman
Cinta tanah air bagian dari iman adalah sebuah hadits yang cukup familiar kalangan umat Islam. Tetapi ada yang berpendapat bahwa...
Memahami Pertanyaan Malaikat di alam Kubur Saat Orang Meninggal?
Di dalam hadits terdapat riwayat yang berisi pertanyaan malaikat di alam kubur ketika orang meninggal. Seperti apa hakikatnya? Seseorang dari...
Mengapa Non-Muslim Lebih Sukses daripada Umat Islam?
Sebuah pertanyaan: Mengapa negara-negara non Muslim, yang nampak tidak beriman kepada Tuhan, bisa lebih sukses secara duniawinya? Bagi orang-orang yang...
Average Rating